Oleh : Hadi Suryono*
Kami ingin menjadi bagian dari penggerak–bonus demografi yang lebih berkualitas. Langkah kecil yang kami pilih adalah menulis pesan ini untuk para orang tua, guru dan para cerdik pandai. Di era digital seperti saat ini, di mana informasi mengalir begitu deras. Media sosial, algoritma dan berita palsu menciptakan dunia di mana kebenaran menjadi kabur.
Dalam kebisingan ini, kemudian menciptakan ruang kebebasan untuk berkarya di media digital termasuk konten-konten receh tidak bermutu. Istilah ini yang kemudian oleh American Psychological Association disebut dengan Instan Gratification, yaitu keinginan untuk memperoleh kesenangan secara instan.
Tanpa disadari, kondisi ini akan menciptakan kebiasaan yang dapat merusak kualitas generasi muda kita karena terjadinya pelemahan intelektual (Brain Rot). Pada akhirnya, Brain Rot dan Instan Gratification lebih dari sekadar kata yang viral. Ia adalah cerminan dari paradoks zaman kita.
Di satu sisi, teknologi memberikan kebebasan tanpa batas. Di sisi lain, ia menciptakan jebakan intelektual yang membuat kita semakin jauh dari kesadaran. Pada tahun 2024, Oxford University Press menobatkan Brain Rot (pelemahan otak) sebagai Word of the Year.
Istilah ini menggambarkan kekhawatiran terhadap dampak konsumsi berlebihan konten berkualitas rendah di media sosial terhadap kondisi mental dan intelektual. Otak terlalu banyak terpapar informasi dangkal, terbiasa mengkonsumsi media pasif, dan kurangnya stimulasi kreativitas.
Akibatnya otak akan kesulitan konsentrasi, kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis, kreatif, dan penurunan produktivitas.
Jika kondisi ini terus terjadi, maka kualitas SDM kita terutama pemuda akan mengalami kerusakan secara masif.
Adanya konsumsi terhadap konten-konten receh (Instan Gratification), akan semakin melemahkan literasi pemuda kita. Jika kita lihat, tahun 2022 UNESCO menyatakan hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca. Laporan the world most literate national ranking oleh CCSU meletakan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara dalam urutan literasi.
Hasil ini sejalan dengan skor PISA kita Tahun 2022 yang berada di angka 359. Kita memiliki selisih 117 poin dari rata-rata negara OECD yang memiliki skor rata-rata 476. Yang mengejutkan jika kita buat proyeksi, maka kita akan mampu menyamai rata-rata negara OECD pada tahun 2089. Artinya, kita butuh 65 tahun untuk meningkatkan skor literasi dengan rata-rata negara OECD.
Acapkali, kita itu terlalu dalam hidup di spektrum garis tanpa batas dilingkungan kita, tanpa pernah mempertanyakan. Efek dari tak bertanya itu, menyebabkan generasi kita tdk bisa berfikir kritis. Tugas kita (orang tua, guru dan cerdik pandai) yang paling utama membangun mental anak yang Tangguh di Era Digital dan juga memberikan batasan yang jelas secara otoritatif.
Kemudian yang paling utama adalah menghidupkan gerakan untuk membaca buku. Membaca buku hari ini amat sangat penting, tidak ada cara membuat mereka berfikir kritis, memiliki pemikiran maju, terbuka dan berintegritas kecuali dengan membaca. Maka pesannya para generasi terdahulu, “Tidak ada peradaban tanpa membaca”. Problemnya hari ini, para orangtua dan gurunya sendiri tidak suka membaca.
Membatasi diri pada bacaan tertentu, tidak siap meng-update dengan pengetahuan terbaru!!. Maka kebiasan membaca buku akan menjadi cara yang paling ampuh untuk menjadikan pemuda kita memiliki wawasan yang luas, berfikir kritis, argumentatif lebih berbobot dan membuka banyak pengetahuan mereka tentang kehidupan. Karena virus Brain Rot dan Instan Gratification berdampak negatif pada kesehatan mental pemuda kita.
*Pegiat Komunitas Sekolah Pinggiran