Oleh: Supri HS*
Jujur, waktu itu, ketika mendengar rumor bahwa nama Prof. Abdul Mu’ti akan segera ditunjuk oleh Presiden Prabowo untuk menduduki kursi Menteri Pendidikan, saya senang luar biasa. Bukan tanpa alasan. Ceritanya begini.
Dulu, saya pernah menyimak sebuah wawancara di kanal YouTube, yang menghadirkan beliau sebagai narasumber. Itu terjadi pada masa-masa dimana Mas Nadiem masih menjadi menteri. Pada saat dimana kurikulum merdeka dan kebijakan merdeka belajar sedang hangat-hangatnya diimplementasikan.
Posisi saya saat itu, sebagai Guru Komite Pembelajaran (KP), yang kebetulan adalah sekolah penggerak. Kami sedang memasuki tahun kedua program.
Dengan posisi Guru KP, saya beruntung bisa sedikit lebih memahami bagaimana cara implementasi kurikulum merdeka, lantaran digembleng belajar setiap bulan oleh fasilitator.
Namun, semakin saya “diajari” tentang implementasi kurikulum merdeka, semakin saya menemukan celah kekurangan dari kurikulum ini. Termasuk juga kelemahan dari kebijakan-kebijakan terkait yang dibuat oleh mas Nadiem.
Jarang saya ungkapkan, tapi sejujurnya, terlepas dari status saya sebagai guru sekolah penggerak, yang seharusnya mengimbaskan cara-cara penerapan kurikulum merdeka ke sekolah-sekolah lain, secara pribadi saya sebenarnya sangat-sangat anti dan alergi dengan kokurikuler bernama Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Bukan karena saya tidak paham apa itu P5, tapi justru sebaliknya. Saya tahu persis apa itu P5, dan karena itu saya sangat yakin bahwa hal ini belum saatnya diterapkan di Indonesia, mengingat kompetensi guru yang mayoritas belum memadai untuk mengimplementasikannya.
Buktinya, sekolah-sekolah gelagapan melaksanakan projek ini, asal-asalan, yang bahkan terjadi sampai detik ini. Tapi apa daya, posisi saya jelas-jelas sangat tidak memungkinkan untuk melontarkan protes. Sebab sekali lagi, saya adalah guru KP, yang tugasnya adalah mengimbaskan implementasi kurikulum merdeka.
Alih-alih memprotes, saya justru datang ke sekolah-sekolah untuk membersamai teman-teman sesama guru, belajar lebih dalam tentang kurikulum merdeka, temasuk bagaimana penerapan Projek P5, hal yang sangat saya benci itu.
Bagi saya saat itu, satu-satunya jalan agar projek P5 ini musnah, adalah dengan pergantian menteri. Dan sebaiknya harus diganti dengan orang yang juga mengkritik hal yang sama dengan apa yang saya kritik. Tidak hanya P5, tapi kebijakan-kebijakan lainnya yang juga banyak dikeluhkan orang.
Dan, harapan itu seolah terjawab pada momen wawancara di kanal YouTube tersebut. Dalam wawancara itu, Pak Abdul Mu’ti terang-terangan mengkritik berbagai hal dalam kebijakan merdeka belajar-nya Mas Nadiem. Lengkap dengan argumentasi yang logis untuk setiap kritikannya tersebut.
Beliau saat itu sempat menyinggung soal zonasi, asesmen nasional, hingga konsep pembelajaran “ala-ala Finland” yang diusung dalam merdeka belajar, lalu mengaitkannya dengan pentingnya peningkatan kompetensi guru.
Saya terkesima melihat beliau bicara. Pada beberapa momen, terasa seperti beliau sedang mengungkapkan apa yang ada di pikiran saya. Sehingga saat itu, saya langsung jadi fans dadakan beliau. Sebagai sesama pengkritik merdeka belajar. Sekaligus saya berharap semoga kelak beliau menjadi menteri pengganti Mas Nadiem.
Maka wajar, saya merasa sangat optimis, ketika akhirnya, sekitar 1 tahun setelah wawancara itu, beliau benar-benar dilantik menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah oleh Presiden Prabowo di Istana Negara. Dugaan saya, akan ada gebrakan luar biasa dari beliau. Untuk perbaikan penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, yang benar-benar tepat sasaran.
Hari berganti hari, saya ikuti sepak terjang beliau. Di berita-berita televisi, di video-video youtube, di postingan-postingan resmi. Satu dua kebijakan mulai beliau rilis. Namun, pelan-pelan optimisme saya tadi justru makin runtuh.
Di 100 hari pertama menjadi menteri, tidak ada hal berarti yang beliau buat, selain memainkan “jurus ganti sampul”. Merilis kebijakan dengan tajuk yang seolah-olah baru, tapi setelah dilihat isi dalamnya, ternyata masih itu-itu juga.
Aplikasi PMM menjadi Ruang GTK, zonasi menjadi domisili, PPDB menjadi SPMB, pembelajaran bermakna dan menyenangkan menjadi deep learning, libur ramadhan menjadi pembelajaran ramadhan, dan yang paling menyakitkan dan menyayat hati : sertifikasi, beliau sebut sebagai “menaikkan penghasilan guru sebesar satu kali gaji pokok”. Diksi itu kemudian beliau berikan kepada Bapak Presiden untuk dibacakan di depan umum, agar semua orang tahu bahwa gaji guru telah naik satu kali gaji pokok.
Akibat ulahnya, tidak terhitung berapa kali saya harus klarifikasi kepada orang-orang masyarakat awam di sekitar tempat tinggal saya. Yang datang tiba-tiba lalu mengucapkan selamat karena gaji saya telah naik. Padahal itu tidak benar sama sekali. Sebab saya sudah sertifikasi sejak 2018. Sudah mendapatkan jatah “kenaikan satu kali gaji pokok” itu. Lantas naik darimana lagi gaji saya?
Benar kata sayyidina Ali, hal paling pahit di dunia ini adalah berharap kepada manusia. Jika kita terlalu berharap, lalu kemudian dikecewakan, sakit nya sungguh melukai.
Tapi sebagai guru, saya tentu tidak akan pernah lupa dengan kewajiban saya. Salah satunya tetap menjalankan segala program yang beliau buat dan mendukung semua itu 100%. Kekecewaan tadi, adalah hal lain yang saya taruh pada bilik yang berbeda. Artinya, saya mungkin kecewa, tapi support akan tetap saya berikan. Sebab saya tahu persis, tidak ada kebijakan yang akan menyenangkan semua pihak.
Harapan saya, semoga jurus-jurus seperti ini tidak terus-terusan dilakukan Pak Menteri. Semoga hanya jadi hiasan di awal-awal kepemimpinan beliau saja. Seterusnya, mungkin akan ada gebrakan yang saya tunggu-tunggu. Tetap semangat Pak Menteri.
*Guru Penggerak